Perahu Naga atau biasa disebut Duan Wu Jie dan yang lebih terkenal dengan Hari Bakcang yang pada tahun 2017 ini jatuh pada 30 Mei 2017 merupakan perayaan tahunan tradisional rakyat Tiongkok yang jatuh pada tanggal 5 bulan 5 berdasarkan penanggalan Lunar / Imlek. Di Indonesia biasanya perayaan ini dilakukan dengan membuat sajian kudapan Bakcang, dan mendirikan Telor, serta bersembahyang kepada Dewa Chii Yuen.
Bakcang (*gambar diatas) merupakan kudapan yang dibuat
dari beras, umumnya beras ketan dengan diisi beberapa sayuran ataupun daging,
sajian ini dibungkus dengan daun bambu yang kemudian diikat dengan tali.
Biasanya kudapan ini hanya bisa kita temukan mendekati Festival saja.
Sedangkan untuk tradisi mendirikan
Telor ini menurut informasi pada tanggal ini terdapat fenomena alam dimana posisi bulan tepat
berada pada garis lurus bumi sehingga gaya gravitasi bulan pada tengah hari
akan tepat berada dibawah bumi sehingga kuning-kuning telur akan tertarik
sedikit lebih rendah dibanding pada hari-hari biasa, hal ini yang membuat titik
berat telur lebih ke bawah dan membantu telur bisa berdiri. Selain itu pada
tanggal ini juga Matahari memancarkan cahaya paling kuat dan gravitasi nya
laing lemah sepanjang tahun. Kebetulan tahun ini aku berkesempatan mencoba
mendirikan Telor untuk pertama kalinya, dan setelah mencoba beberapa kali
akhirnya berhasil juga, dan anehnya telur asin (telur bebek) matang juga bisa
berdiri, hahahhha, entahlah... Konon katanya yang berhasil mendirikan telor
pada jam 12-13 ini akan mendapatkan berkah sepanjang tahu tersisa, amin – amin deh,
suka aja kalau yang namanya berkah begini, hahahhaha...
Dan berikut ini kutipan sejarah dari Festival Perahu Naga tersebut
Pict from maitreyavoice.com |
Chii Yuen
(
-278 SM)
Chii Yuen adalah seorang pejabat yang
bertugas sebagai penulis surat-surat diplomasi di kerajaan. Di antara semua
menteri dan pejabat, Beliau termasuk sebagai senior yang bertahan. Pada masa
itu sebagian besar pejabat melakukan korupsi di kerajaan, dan suka menjilat
raja. Tinggallah Chii Yuen yang berpendirian teguh, tetap berperilaku bersih di
tengah kekeruhan. Berkali-kali para pejabat berusaha mempegaruhi Beliau, namun
usaha ini sia-sia. Lama-kelamaan Chii Yuen dianggap sebagai batu sandungan yang
membahayakan. Seandainya ‘si bersih’ keluar dari kerajaan, tentu mereka dapat
lebih leluasa berbuat apa saja untuk mendapatkan kesenangan di dalam kerajaan.
Hingga akhirnya mereka sepakat untuk menyingkirkan-Nya.
Saat itu Dataran China terbagi menjadi
7 negara, yaitu Chi, Chu, Yen, Han, Cao, Wei, dan Chin. Negara Chin yang kuat
sering menindas Negara Chu, tempat kelahiran Chii Yuen. Chii Yuen yang memiliki
kecakapan dalam bertugas dengan sepenuh hati ingin menguatkan kembali
negaranya, dengan bekerjasama dengan negara Chi. Namun para pejabat yang tidak
senang dengan Chii Yuen memburuk-burukkan nama Chii Yuen. Surat diplomasi Chii
Yuen dipalsukan, sehingga Beliau dituduh sebagai pengkhianat kerajaan.
Mengingat budi Chii Yuen sebagai
pejabat senior, hukuman yang diberikan sebatas pengasingan ke sebuah desa
terpencil. Hukuman seperti ini memang secara fisik tidak menyakitkan, tapi
sangat menjatuhkan martabat dan mengiris hati. Kenyataan pahit pun harus
diterima. Perjalanan hidup Chii Yuen berubah drastis, dari seorang pejabat
senior menjadi ‘orang buangan’. Masyarakat memandang-Nya sebagai pengkhianat
kerajaan, sehingga siapa saja yang berpapasan akan membuang muka dan meludah di
hadapan Beliau. Setiap Ia datang di keramaian, orang akan berbisik-bisik
membicarakan dan memaki ‘kejahatan’ yang dilakukan.
Kepahitan ini Beliau terima dengan
tabah. Namun hati-Nya teriris, bergejolak dalam penyesalan yang mendalam.
Bukanlah ketidakadilan raja yang Ia sesalkan, atau kekejian para pejabat licik.
Ia merasa bersalah dan lalai dalam melindungi raja dari kejahatan para menteri.
Ia menyadari bahwa sesungguhnya kenyataan pahit yang Ia terima bukanlah
kehendak raja, tapi karena ulah para pejabat. Di sinilah letak kemuliaan
Beliau. Walau mendapatkan perlakuan yang tak adil dari raja, dalam hati-Nya
Chii Yuen tetap setia.
Selama di pengasingan, tak
henti-hentinya Chii Yuen mencemaskan keselamatan raja dari rencana jahat para
menteri. Isi hati-Nya Beliau tuangkan ke dalam syair-syair yang kemudian
dikirim untuk sang raja. Bertahun-tahun Ia menulis syair untuk raja, namun
sesungguhnya tak satu pun yang sampai ke tangan raja, karena para menteri sudah
mencegahnya.
Suatu hari terdengar kabar bahwa
kerajaan telah dikalahkan oleh Negara Chin. Sang raja yang dicintainya tewas
dengan tragis oleh kebodohan para menteri. Tragedi ini mengguncangkan kerajaan,
dan dengan cepat kabar ini tersiar ke seluruh penjuru. Kabar duka ini bagaikan
sambaran petir yang telak mengenai diri-Nya.
Rasa sesal menyesakkan dada-Nya,
“Sungguh, tak banyak yang telah kuperbuat bagi raja. Jika keselamatan raja saja
kuabaikan, apalah artinya hidupku! Sungguh tak berguna!” Syair belum rampung,
namun pena tinta dilepaskan-Nya dari genggaman tangan. Sang pejabat setia yang
telah mengabdi penuh dan menelan sejuta kepahitan, dalam penyesalannya
menenggelamkan diri ke dalam sungai untuk menyusul kematian sang raja.
Peristiwa tersebut jatuh pada tanggal 5 bulan 5 (imlek).
Saat Chii Yuen menenggelamkan diri,
seseorang melihatnya dan berusaha menyelamatkan Beliau. Akhirnya masyarakat
mengetahui bahwa orang yang menenggelamkan diri itu tak lain adalah Chii Yuen
pejabat bersih yang selama ini mereka tuduh sebagai pengkhianat. Masyarakat
menyesal, bahwa orang yang selama ini mereka sudutkan, mereka caci, justru
sesungguhnya adalah pejabat yang paling jujur.
Dengan perahu naga, berbondong-bondong
mereka mencari Chii Yuen ke dalam sungai, namun tetap tubuh-Nya tak ditemukan.
Tak lama kemudian mereka kembali ke tengah sungai, membawa potongan batang
bambu berisi nasi dan sayur. Setibanya di tengah sungai, batang bambu ini
ditebarkan ke dalam sungai, dengan harapan agar ikan-ikan di dasar sana tidak
menggigiti tubuh Chii Yuen, tapi memakan nasi yang mereka tebarkan.
Untuk mengenang jasa dan kebesaran jiwa
sang pejabat mulia ini, setiap tahun masyarakat Tionghoa membuat kue ‘Cang’.
Batang-batang bambu digantikan dengan daun bambu sebagai pembungkus nasi. Pada
hari tersebut, mereka menebar kue ini ke tengah sungai, danau, ataupun sumur
terdekat. Hari yang agung ini dikenal sebagai ‘Festival Duan Wu’ (Duan Wu Jie).
Masyarakat Tionghoa juga memperingati
peristiwa ini dengan mengadakan lomba mendayung perahu naga. Konon, sehari
setelah wafatnya Sang Pahlawan, masyarakat di sekitar sungai sembuh dari
berbagai penyakit, setelah berenang di sana tepat pada tengah hari (sesuai
dengan peristiwa tenggelamnya Chii Yuen). Kini hal tersebut telah menjadi
tradisi, di mana pada hari yang sama masyarakat akan berenang pada tengah hari.
Demikianlah riwayat singkat perjalanan
hidup Chii Yuen. Semoga pribadi luhur Beliau menjadi teladan sekaligus
menyentuh dasar Nurani kita, menggugah kesadaran kita untuk menjunjung tinggi
nilai-nilai kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
0 Komentar